Senin, 06 Februari 2012

KAFAAH DALAM PERNIKAHAN


Mereka mengatakan bahwa kufu itu ada enam
maka jawabku, itu sudah berlalu [kuno]
sesungguhnya yang diketahui anak jaman sekarang, hanyalah
kemudahan mencari dirham [uang][1]
Cincin Lambang Cinta Suci
A.    Pendahuluan
Sebagian orang masih memandang perlunya kafa’ah walaupun keberadaannya tidak berpengaruh atas keabsahan pernikahan. Kufu atau kafa’ah yang bermakna keserasian, kesetaraan atau keselarasan dalam menentukan calon pendamping adalah hak yang boleh dijadikan tolok ukur keluarga pengantin perempuan dalam menentukan calonnya. Sementara bagi laki-laki kafa’ah tidak diperlukan sehingga dalam literature fikih dinyatakan bahwa yang dapat menggugurkan
keharusan adanya kafa’ah ini adalah keluarga dan calon pengantin perempuan.

B.     Landasan Hukum Kafaah
Perkawinan adalah langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang setara, dikawatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan.
Kalangan yang menganggap pentingnya kafa’ah mendasarkan pendapatnya pada ;
1.                            Hadits Nabi dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan al-Hakim;“Tiga hal yang jangan ditunda [1]shalat jika telah masuk waktunya,[2]jenazah jika sudah tiba, dan [3] gadis yang sudah mendapatkan jodoh yang sepadan”.
2.                            Hadits Nabi dari Jabir yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan Baihaqi: “Jangan nikahkan wanita kecuali dengan orang- orang yang sekufu, jangan menikahkan mereka kecuali wali mereka, dan tiada maskawin di bawah 10 dirham”
3.                            Hadits Nabi dari Aisyah dan Umar yang diriwayatkan oleh al-Hakim:“Aku akan mencegah perkawinan orang- orang yang memiliki nasab kecuali dengan pasangan yang sepadan”
Serta masih banyak hadits-hadits lain yang mengharuskan adanya kafa’ah sehingga pensyaratan kafa’ah dalam pernikahan ini menjadi pendapat jumhur termasuk madzhab empat. Sedang yang tidak mensyaratkannya antara lain ats-Tsauri, Hasan Bashri, dan al-Karkhi (Hanafiyah), adapun dasarnya adalah sabda Nabi “Manusia itu sama seperti jajaran gigi, tidak ada keutamaan bagi orang arab maupun ajam [selain arab]. Sesungguhnya keutamaan itu terletak pada ketakwaannya”. Serta fakta sejarah yang mencerminkan kesetaraan sesama muslim yang diajarkan oleh Nabi. Salah satunya adalah menikahnya seorang mantan budak [Bilal bin Rabah] dengan seorang perempuan merdeka dari kaum anshar.

C.    Ukuran Kafaah
Sebagaimana Syafi’i, ukuran kesepadanan ini dilihat dari lima hal, yaitu ;
1.  Agama [pengamalannya]
2.  Status [merdeka/budak]
3.  Nasab [asal usul] dan Hasab [sifat pendahulu]
4.  Profesi
5.  Kondisi fisik dan mental
Dalam literature fikih dewasa ini dinyatakan bahwa kafa’ah dapat dinilai dari adapt istiadat yang berlaku, dan hanya menjadi hak perempuan dan walinya sehingga jika suami tidak sepadan dan perempuan belum hamil, mereka[perempuan dan wali] berhak membatalkan pernikahan [fasakh] sebagaimana diungkapkan oleh oleh ulama lainnya.


[1] Syair gubahan Mar’i Al- Hambali dikutib oleh Sayyid Bakri Syatho dalam I’anatuth Tholibin.

0 komentar:

Posting Komentar