Zakat Fitrah: Beras atau Uang ?[1]
Zakat fitrah tersusun dari dua suku kata zakat dan fitrah, zakat yang
artinya sedekah yang diwajibkan, sedangkan fitrah artinya tabi’at, karakater,
pembawaan. Dalam istilah fiqh, zakat
fitrah diartikan sebagai zakat pribadi yang dikeluarkan pada setiap Hari Raya
Idul Fitri sebelum palaksanaan Shalat ‘Id dengan tujuan untuk mensucikan jiwa
dan tabiat. Dinamakan zakat fitrah karena untuk mensucikan jiwa dan tingkah
laku.
Zakat Fitrah merupakan salah satu sendi dari rukun Islam dan juga
merupakan Fardhu `Ain yang bersifat ta’abbudiah. Ia termasuk ibadah
maliyah ijtimaâiyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan
kemasyarakatan), yang mempunyai status dan fungsi penting dalam syariat Islam,
sehingga al-Quran menegaskan kewajiban zakat sering bergandengan dengan
kewajiban shalat. Ini artinya perintah zakat sama pentingnya dengan perintah
shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga ini masih belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pengelolaan dan ketentuan zakat di
masyarakat masih memerlukan bimbingan, baik dari segi syariat maupun
perkembangan sosial. Hal yang sangat urgen belakangan ini adalah pembolehan pembayaran
zakat fitrah dengan uang yang berlaku di Aceh yang umumnya penganut Mazhab
Syafii.
Memasuki hari-hari akhir Ramadhan, amil
zakat di berbagai Meunasah dan Mesjid di Aceh khususnya disibukkan dengan
penerimaan zakat fitrah yang disalurkan melalui jasa amil, ada yang menyerahkan
beras dan ada pula yang menyerahkan uang merujuk kepada kesepakatan kepala
kantor Kementerian Agama, Kepala Dinas Syariat Islam dan Ketua MPU Kabupaten/Kota
di Provinsi Aceh. (meskipun sebagian Kabupaten/Kota mempertegas keharusan bayar
zakat fitrah dengan beras), dalam hal ini tentunya timbulnya pertanyaan besar
tentang boleh serta sahnya zakat dengan uang/nilai harga jual beras dalam
konteks masyarakat Aceh yang umumnya beramal dengan fiqh Syafii?.
Ketentuan Zakat Menurut Fuqaha
Tentang wajibnya zalat
fitrah semua fuqaha sepakat dan mereka berbeda pendapat tentang jenis barang
yang dikeluarkan pada zakat fitrah. Hal ini didasari oleh Hadist Rasulullah
s.a.w. “Diriwayatkan dari Rasulullah s.a.w. bahwa Rasulullah mewajibkan
zakat fitrah dari bulan Ramadhan terhadap manusia satu sha’ kurma dan satu sha’
gandum atas setiap orang merdeka dan hamba yang muslim baik laki-laki dan
perempuan.” (Saheh Muslem, Hadist No. 984)
Abu Hanifah berpandangan, zakat fitrah dikeluarkan
dengan menggunakan makanan pokok dan boleh juga menghargakannya dengan uang. Menurutnya
jenis-jenis makanan yang dikeluarkan dalam
zakat fitrah adalah hintah (gandum), syair (padi belanda),
tamar (kurma), zabib
(anggur), serta boleh pula mengeluarkan daqiq hintah (gandum yang sudah
menjadi tepung) dan saweq (adonan tepung). Kadar yang dikeluarkan dalam
zakat fitrah menurut Abu Hanifah adalah
½ Sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’ kurma. (1 Sha’= 7,6 Kg)
Imam Malek
berpendapat zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah qut balad (makanan pokok suatu
daerah), akan tetapi beliau membatasi qut balat tersebut hanya
sembilan macam saja, yaitu: gandum, syair, sulti, jagung, dakhan,
kurma, anggur, susu yang sudah kering yang tidak diambil buihnya serta golongan
Malikiyyah berpendapat boleh mengeluarkan daging bila sudah dijadikan makanan
pokok. Kadar yang dikeluarkan adalah satu sha’ makanan pokok yang telah
disebutkan.
Imam Syafii berpendapat
bahwa zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah makanan pokok yang
mengenyangkan dan tahan lama serta tidak boleh menggunakan uang, karena Mansus
‘Alaih Alaih / dalil yang menegaskannya jelas (al-Umm; hal. 174). Kadar yang dikeluarkan adalah satu sha’ (±
2,6 Kg). Selanjutnya Imam Hambali berpendapat yang dikeluarkan dalam
zakat fitrah hanya gandum, syair, kurma, anggur, susu yang kering. Beliau juga berpendapat tidak boleh mengeluarkan
yang lain seperti daging sekalipun dijadikan sebagai makanan pokok kadarnya
adalah satu sha’ (1 Sha’= 2751 Gr)
Pendapat Rajih
Tentang Zakat Fitrah
Dari empat pendapat imam mazhab yang telah diurai di atas, pada dasarnya
Syafii, Maliki dan Hambali memiliki kesamaan pandangan tentang tidak bolehnya
berzakat dengan uang, hanya hanafi saja yang membolehkannya. Dari beberapa
argument yang terdapat dalam al-Umm serta fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah,
dapat disimpulkan bahwa pendapat yang rajih adalah pendapat yang
mengatakan bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan mengunakan qut
(makanan pokok yang mengenyangkan) dan dapat disimpan, tidak boleh mengeluarkan
uang. Alasan pentarjihan pendapat ini berdasarkan beberapa alasan, diantarannya
hadist Ibnu umar yang menjelaskan zakat
fitrah diwajibkan pada semua jenis qut
(makanan pokok yang mengenyangkan) karena Nabi secara sareh nash
menyebutkan jenis-jenis makanan pokok yang mengenyangkan, jadi tentang
mengeluarkan uang tidak disebutkan dalam hadits tersebut. Kemudian kadar zakat
yang dikeluarkan telah maklum pula dalam hadits yaitu satu sha’, maka
rasulullah saw menyamakan kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah padahal antara satu jenis dengan yang lain
harganya berbeda.
Adapun orang yang berpendapat mengeluarkan uang lebih cocok diterapkan
dengan alasan lebih memudahkan dan mudah dijangkau oleh semua orang, ini
merupakan hasil ijtihad yang tidak
dibolehkan karena bila terdapat nash yang sareh (hadist), maka nash lah
yang diutamakan dan zaman harus disesuaikan dengan nash. Hal ini juga didukung oleh pandangan Kuffal
as-Syasyi dalam Mahasini as-Syari’ah bahwa “manusia pada kebiasaan tidak
berusaha di hari Raya dan tiga hari tasyrek
karena merupakan hari bahagia bersenang-senang, orang fakir miskin tidak
memiliki makanan yang ia makan pada hari tersebut maka disyariatkan untuk
memberikan makanan satu sha”
Dengan demikian dapat memahami bahwa pensyariatan zakat fitrah adalah
bukan untuk menunaikan kebutuhan yang lain seperti pakaian dan sebagainya akan
tetapi hanya semata-mata untuk membantu kebutuhan perut, oleh sebab itu
menunaikan makanan pokok (qut) lebih manfaat ketimbang dengan uang,
sebagaimana yang telah dianjurkan Rasulullah dan mengeluarkan uang lebih besar
kemungkinan tidak memenui kebutuhan yang diinginkan syara’ oleh karena itu bagi
Masyarakat Muslim di Aceh yang akan menunaikan zakat fitrah, tunaikanlah sesuai
dengan tuntunan yang telah dijelaskan dalam Agama Islam sesuai dengan tuntunan
Mazhab yang dianut jangan sampai terjadi talfiq mazhab (Mencampuraduk
mazhab untuk mencari solusi yang mudah dalam pengamalan).
Dan jikapun ingin membayar zakat dengan harga/uang, maka ketentuannya
harus sesuai dengan ketentuan Imam Hanafi, kadar yang dikelurkan adalah harga
dari ½ Sha’ gandum atau satu sha’ syair, satu sha’ kurma. (1 Sha’= 3,8
Kg), dan uang haruslah dari harga hintah (gandum), syair (padi
belanda), tamar (kurma) dan zabib (anggur). Tidak sah membayar
zakat fitrah dengan harga beras, karena Imam Hanafi berpendapat tidak sah
mengeluarkan zakat fitrah dari selain empat jenis makanan tersebut.
[1]
Oleh Tgk. Mukhlisuddin, MA, Penulis adalah Guru Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga, Dosen STAI Al-Aziziyah Samalanga.
0 komentar:
Posting Komentar