APA sebenarnya
yang kita prioritaskan dalam hidup ini? Mungkin jika ini ditanyakan ke
banyak orang, jawabannya bisa beragam dan butuh waktu panjang.
Ada seorang yang kerja banting-tulang mengumpulkan uang. “Kaki jadi
kepala dan kepala jadi kaki”, demikian istilahnya, tidak lain untuk
mengumpulkan harga dan kekayaan sebagai bekal di masa tua.
Ada pula orang yang rela hidup mengembara, menyebrang sungai, gunung
dan lautan, agar dapat memperoleh kemuliaan hidup berupa jabatan.
Bahkan ada pula yang rela menjual harga diri –termasuk--tubuhnya yang paling berharga, untuk satu kata, ketenaran.
Tapi tak sedikit di antara kita yang tidak tahu, untuk apa hidup dan tujuan kita.
Benarkah ujung dari semua itu adalah kebahagiaan sejati? Belum tentu.
Di kota-kota besar, banyak orang bisa membeli rumah mewah dan tempat
tidur empuk. Bahkan bisa menyewa kamar hotel dengan nilai ratusan juta
untuk sehari, namun sedikit di antara mereka yang bisa tidur nyenyak.
Mereka justru berobat keliling dokter karena mengidap insomnia.
Sebaliknya, banyak tukang becak, pemotong rumput, tukang ojeg, nikmat
mendengkur di atas kendaraannya yang sesungguhnya tak layak sebagai
tempat istirahat.
Tak sedikit orang jungkir-balik untuk sebuah benda bernama”harta”
namun akhirnya toh menderita di masa tua, akibat banyaknya gangguan
penyakit yang membuat hari-harinya harus ke dokter dan ke dokter. Juga
tak sedikit orang lupa keluarga, hingga usia di atas 40 tahun tak
memiliki anak dan keturunan, bahkan yang menyedihkan lagi tak memiliki
pasangan. Lantas, bisakah harta, jabatan, kekayaan, nama baik dan
ketenaran membeli semua itu?
Kenikmatan Semu
Sungguh keliru, jika mengaku Muslim masih salah dalam menentukuan
tujuan dan arah hidup. Apalagi secara lalai, abai, atau bahkan sengaja
mengesampingkan aspek iman-taqwa dan lebih memprioritaskan aspek lain
yang sifatnya kenikmatan-kenikmatan semu.
Kenikmatan-kenikmatan jasadiah (semu) sesungguhnya bukanlah sumber
kebahagiaan sebagaimana anggapan kebanyakan manusia baik dari zaman Nabi
Adam hingga kelak di masa akhir zaman. Anggapan itu muncul tidak lain
karena manusia lebih mengedepankan kekuatan indera (pragmatisme) dan
menafikan kekuatan mata hati (batin)
Bagi mereka kebahagiaan itu adalah melimpahnya harta, tingginya
kekuasaan, dan banyaknya wanita yang berada dalam kehidupannya. Mereka
sama sekali tidak mampu melihat realita di balik indera. Baginya hidup
ini adalah dunia dan tidak ada kehidupan setelah dunia ini. Allah
mengkategorikan orang-orang seperti itu sebagai orang kafir.
Secara bahasa, makna kafir atau kufur berarti kafara yang
artinya 'tertutup' atau terhapus. Sedang yang dimaksudkan dengan orang
kafir adalah orang yang tertutup mata hatinya dari kemampuannya untuk
melihat hakikat kebenaran dan karena itu akan selalu sesat dalam melihat
arti kebahagiaan.
Ketika mata hati seorang manusia tertutup maka akal sehatnya,
batinnya, dan perasaannya tidak akan berfungsi dengan baik. Inilah yang
menyebabkan mengapa banyak orang berani melawan kebenaran dari Allah
Subhanahu Wata’ala. Jiwa raganya telah diselimuti oleh kekuatan setan
yang pasti akan selalu berbuat keruasakan dan kesesatan.
وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لاَ يُقْصِرُونَ
“Mereka yang selalu menyesatkan manusia dari jalan kebenaran ini
ada dua yaitu orang yang kafir dan orang yang fasik. Seperti dalam
firman-Nya, “Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik)
membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak
henti-hentinya (menyesatkan).” (QS. Al-A’raf [7]: 202).
Bagi orang yang demikian itu, dan biasanya kelompok ini selalu ada di
setiap zaman, keimanan bukanlah hal penting. Bagi mereka kebahagiaan
sama seperti anggapan kebahagiaan yang dimiliki oleh Fir’aun, Namrudz,
Qarun, dan Tsa’labah memandang kebahagiaan. Na’udzubillahi min dzalik.
Jaga iman dan sempurnakan
Setiap Muslim berkewajiban untuk menjaga keimanannya dan ketaqwaannya
kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar mata hati, akal sehat, dan
perasaannya tetap berada diliputi oleh cahaya kebenaran dari Allah SWT,
sehingga terhindar dari mengikuti langkah-langkah setan.
Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam senantiasa
mengajarkan umatnya untuk berupaya semaksimal mungkin menyempurnakan
imannya setiap saat, dimana dan kapan pun juga. Oleh karena itu tidak
semestinya seorang Muslim memprioritaskan hal lain selain sempurnanya
iman dalam jiwa dan raga secara terus-menerus sepanjang hidup.
Menjaga iman apalagi menyempurnakannya bukanlah perkara mudah namun
juga tidak berarti tidak bisa diupayakan. Hanya ada satu syarat seorang
Muslim bisa menyempurnakan iman dengan sebaik-baiknya, yaitu menjadi
Muslim secara kaffah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً
وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُّبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Muslim kaffah ialah Muslim yang senantiasa mengikuti Rasulullah dalam
segala hal dalam kehidupannya. Hal itu tergambar dalam beberapa ayat
Al-Qur’an.
Satu di antaranya adalah; ‘Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31).
Hal inilah yang mendorong Umar bin Khaththab selalu gelisah dengan
kondisi rakyatnya. Oleh karena itu dia mengharamkan kemewahan bagi diri
dan keluarganya. Selain itu Umar merelakan seluruh hidupnya demi
kebahagiaan seluruh rakyatnya yang menjadi amanah tertinggi baginya
sebagai seorang pemimpin.
Kerusuhan, kericuhan, dan kesemrawutan yang terjadi hari ini boleh
jadi dikarenakan sudah sangat banyak orang yang meninggalkan ajaran
Islam. Dalam hal apapun; memimpin, berdagang, belajar, bekerja, hidup
dll.
Kesempurnaan Iman
Dunia ini akan tetap aman dan tentram manakala semua elemen
masyarakat, bangsa dan negara mampu memperagakan nilai-nilai Islam
secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang Muslim yang baik (imannya) adalah Muslim yang benar-benar
mengikuti risalah Rasulullah. Di antaranya adalah senantiasa berkata
baik atau diam, menghormati tetangga, dan memuliakan tamu.
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, ”Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik
atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia
menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhori - Muslim).
Satu contoh kecil. Sekarang tidak jarang orang terjebak oleh suasana
hati yang kurang bersih, sehingga banyak juga di antara umat Islam yang
perkataannya sering melukai perasaan saudara sesama Muslim.
Belum lagi akhlaq dan amalan-amalan mulia Islam yang banyak
ditinggalkan. Menerima tamu, menghormati tetangga, bekerja, mengurus
keluarga (termasuk suami/istri dan anak), mendidik yang benar, yang
kesemuanya menuju satu kesempurnaan iman.
Contoh lain. Tak sedikit gadis-gadis Islam tergila-gila pria hanya
karena ia ganteng dan cakep. Bukan karena agamanya. Akibatnya, setelah
setahun dua tahun menikah, ujungnya tak lain perceraian belaka.
Tak sedikit orangtua depresi di hari tua, karena anak-anak yang
mereka lahirkan dan diidam-idamkan, akhirnya tidak memiliki kecintaan
dan rasa sayang padanya. Di kala anaknya sudah sukses dan makmur, mereka
jarang datang menjenguknya, kecuali hanya kiriman uangnya tiap bulan.
“Di saat saya sakit dan menderita, mengjengukpun tidak pernah. Ia hanya mengirimkan uang saja.”
Sesungguhnya tak ada yang salah. Ketika orangtua mengajarkan dan
mendidik anak-anak mereka dengan sentuhan finansial semata, di kala
besar, pendekatan mereka juga finansial dan uang.
Mungkin jika ditanya, anak-anak itu bisa berkata. “Dulu semua
dihitung dengan uang. Kini, ketika saya sukses, telah aku kembalikan
uangnya secara perlahan-lahan.”
Banyak orangtua salah mendidik anaknya. Padahal, aset berharga
sebagai bekal hidup di dunia fana adalah amal jariyah dan anak yang
sholeh.
''Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari
tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak
shaleh yang berdoa kepadanya.'' (HR. Muslim)
Itulah sesungguh-sungguhnya aset berharga para orangtua untuk bekal
ke aherat. Akhirnya, marilah kita kembalikan semuanya pada al-Quran dan
Sunnah (tuntunan Rasulullah), semata-mata agar kita mendapatkan kemulian
dan kesempurnaan iman.*/Imam Nawawi
Apakah AI dapat Menggantikan Peranan Guru?
17 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar