Dua dekade terkahir ini, kita menyaksikan semangat umat yang luar biasa dalam membangun masjid. Masjid hadir dimana-mana. Tidak sulit bagi seorang musafir untuk melaksanakan shalat lima waktu setiap kali saatnya tiba.. Dan konsekuensi logis secara kasat mata, negeri ini juga di tengarai sebagai negeri yang mempunyai masjid terbanyak di dunia. Dari data mutakhir menyebutkan tidak kurang jumlah masjid dan mushalla saat ini di seluruh Indonesia berjumlah + 700 ribu.
Tetapi, pertanyaan mendasar yang kemudian menyeruak di hadapan kita semua adalah: seberapa jauh-masjid-masjid itu berfungsi secara maksimal bagi masyarakat sekitarnya? Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan, karena ada gejala penyempitan dan pendangkalan makna dan fungsi masjid yang genuine bagi kehidupan masyarakat.
Nestapa Tradisionalisme
Dahulu, zaman saya masih remaja, banyak anak-anak kecil berduyun-duyun datang untuk mengaji di masjid pada sore hari sampai menjelang isya. Sembari diantar orang tua, anak-anak itu mendekap al-Quran di dadanya berjalan beriringan menuju masjid. Shalawat pengantar sebelum aktivitas mengaji terdengar menggem. Para ustadz pun telah siap mengajar. Proses mengaji pada waktu itu tak sekedar transfer pengetahuan (knowledge), tapi nilai (ethics), sikap (attiitude) begitu kental dan mewarnai. Lebih dari itu, kegiatan tersebut merupakan implementasi dari sabda Nabi SAW, ”sebaik-baik di antara kamu adalah orang yang belajar Al-Quran dan yang mengajarkannya”. Tapi kini, itu tinggal cerita masa lalu. Kisah klasik yang hanya indah untuk dikenang. Sulit untuk dihadirkan kembali dalam potret kekinian. Anak-anak zaman sekarang lebih asyik nongkrong di pinggir jalan sambil membawa gitar. Atau duduk nyaman di depan tv sambil memainkan joystick playstation.
Paradigma orang tua pun turut terbawa arus sekuler. Orang tua memandang mengaji di masjid, terlebih pada waktu maghrib sebagai hal remeh-temeh. Karena banyak alat teknologi yang menggantikan peran ustadz. Cukup dengan remote control, maka orang tua bebas memainkan pitch control memilih nama surah dan qari yang diinginkan. Kalau sudah demikian adanya. Maka tak ayal, mengaji di masjid sebagai bagian dari tradisi dan warisan budaya kian termarginalkan. Penulis menengarai fenomena sosial ini sebagai nestapa tradisionalisme. Pun saat ini banyak masjid berdiri dengan megah dan indah, namun di balik kemegahan itu, tak sebanding dengan ramainya jamaah dan minimnya aktivitas. Demikian juga ada banyak masjid di pedesaan dan perkotaan terlihat begitu megah tapi tidak bertuan.
Kita boleh saja bangga banyaknya masjid dan kemewahannya. Tapi, lebih penting dari itu, jumlah dan kualitas jamaah masjid tetap harus diperhatikan. Apalah artinya masjid mewah jika jumlah jamaahnya bisa dihitung dengan jari dan kualitas sistem sosial di sekitarnya jauh dari nilai-nilai substansi Islam. Masjid, secara umum, seringkali diidentikkan dengan tempat shalat saja. Di luar itu, seolah-olah masjid tidak memiliki fungsi lain. Fungsi masjid jauh dari kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial, ekonomi, politik atau budaya. Akibatnya mudah ditebak: peningkatan jumlah masjid tidak berbanding lurus dengan penurunan angka keterbelakangan, kemiskinan ataupun tensi konflik sosial yang dihadapi masyarakat di sekitarnya.
Gemmar Mengaji; Wujud Kearifan Lokal
Kehadiran masjid mestinya dapat memberikan inspirasi yang tidak sederhana. Peran-peran strategis ini sangat memungkinkan untuk direalisasikan dalam kehidupan masa kini. Karena, masjid tidak pernah mengenal kelas-kelas sosial dan primordialisme kehidupan. Hal tersebut tentunya bercermin dari apa yang telah diperjuangkan Rasulullah selama ini. Dalam situasi apa pun, masjid dapat dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat untuk berusaha mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik. Ahmad Yani (1999) menuturkan masjid selain difungsikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah, pusat ilmu pengetahuan, pusat informasi, masjid juga digunakan sebagai pusat kebudayaan.
Mengaji di masjid pada waktu maghrib adalah langkah stategis dan efektif untuk membendung budaya kosmopolit yang cenderung permisif. Melalui Gerakan Masyarakat Maghrib (Gemmar) Mengaji di masjid adalah langkah strategis menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini dilupakan. Secara definitif, kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama (Tiezzi, et al, 1992). Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama dan dinamis.
Gemmar Mengaji juga mengembalikan identitas folklore masyarakat muslim yang kian pudar dan luntur di gerus zaman. Gemmar Mengaji, tak sebatas proses pembelajaran huruf ijaiyah per se. Lebih dari itu, Gemmar adalah upaya hibridasi untuk mencintai dan melestarikan tradisi dan kultur dalam konteks keislaman dalam keindonesiaan. Ala kulli hal, Gerakan Masyarakat Maghrib (Gemmar) Mengaji, tentu tak di batasi mesti di masjid. Tapi kalau itu dilakukan tentu ideal. Bukankah mengajarkan anak untuk datang dan mengenal masjid sejak dini adalah bagian dari pendidikan Islam. Pendidikan yang tak hanya berorientasi pada transferisasi ilmu pengetahuan., tapi juga membangun karakter, nilai, sikap untuk mampu menghargai dan meresapi kearifan lokal. Wallahu’alam.
- penulis adalah staf KUA Kec. SUKASARI- Kab. SUBANG
- Sumber : Kemenag.Go.id
0 komentar:
Posting Komentar